Si Centil Kehabisan Gaya
Sabtu,
hari dimana biasanya mahasiswi libur dari kuliahnya. Namun tak ada libur bagiku,
libur merupakan sesuatu yang bisa dibilang
mitos. Mahasiswi jurusan pendidikan biasanya menggunakan hari libur kuliahnya untuk
terjun ke sekolah. Aku termasuk mahasiswa yang banyak gaya, ahh bukan , sok banyak
acara. Tugas lapangan yang sudah diberikan dosen sejak awal semester, baru akan
ku kerjakan , padahal waktu pengumpulan besok Kamis, dan sekarang adalah akhir pekan.
Sementara teman-temanku yang lain sudah menyusun makalah, diriku sama sekali belum
terjun ke lapangan. Rasanya seperti akan
ada badai besar yang melanda, disertai angin ribut, dan menerbangkan semua kertas-kertas
tugasku, hanya berlembar-lembar kertas kosong yang sama sekali belum ada goresan
pena sedikitpun. Terbang, sana terbang yang jauh, ahh sudah lari dikejar waktu ditambah
semakin peningnya kepala ini, disusul oleh pemandangan beberapa teman-teman
yang sudah mencetak makalah mereka.
Temanku
sudah mengomel tak karuan, manakala aku memintanya untuk menemaniku ke sebuah
SLB yang tak jauh dari rumahnya, dan aku harus membuatnya menunggu selama 30
menit di pinggir jalan. Aku memang tega sekali, untung saja temanku ini sangat sabar
menghadapiku. Omelannya panjang sekali, dan aku terpaksa memotong omelannya,
lalu mengajaknya untuk segera ke SLB. Temanku yang menunjukkan jalannya, dan ternyata
begitu jauh masuk ke dalam perkampungan. Sesampainya di SLB, aku sudah disambut
oleh temanku yang sudah bekerja di SLB tersebut, dia sedang bersama seorang siswa
dan seorang bapak tua. Kami mendekati mereka, hendak meminta izin untuk bertemu
Kepala Sekolah, lalu bapak tua itu mengantarkan kami ke dalam ruang kepala sekolah.
Dimana Kepala Sekolah berada, kenapa bapak tua ini yang menyambut kami di ruang
Kepala Sekolah. Ehh, bapak tua yang aku kira seorang penjaga sekolah tadi, ternyata
Kepala Sekolah SLB ini, maafkan saya Bapak.
Di
depan ruang Kepala Sekolah, kami menemui dua murid tunanetra yang telah dikenalkan
oleh Kepala Sekolah kepada kami, dan salah satunya akan menjadi subyek observasiku.
Tugas kuliah lapangan kali ini merupakan tugas mata kuliah anak dengan hambatan
majemuk. Hambatan majemuk berarti anak berkebutuhan khusus, yang memiliki kebutuhan
khusus lebih dari dua hambatan. Lalu aku dibantu temanku untuk mencoba mengenali
hambatan apa yang ada pada dua anak ini. Satu anak bertubuh tinggi kurus, kira-kira seusia
anak SMP. Sementara satunya lebih pendek, bertubuh sedikit gemuk, seusia anak
SD. Tadi, di ruang Kepala Sekolah, aku dan temanku sudah dikenalkan oleh satu murid
yang memiliki dua kebutuhan khusus, dan yang dimaksud oleh Kepala Sekolah di
dalam tadi adalah, anak yang bertubuh sedikit gemuk yang selalu minta dipegangi
oleh anak yang bertubuh tinggi kurus.
“Hai,
namanya siapa?” temanku bertanya kepada dua anak ini.
Sontak
aku merasa sedikit kaget, aku masih malu untuk menyapa, dan temanku sudah beraksi
menanyakan sebuah pertanyaan kepada mereka. Yang menjawab pertanyaan temanku adalah
anak dengan paras bertubuh tinggi kurus, Ia menyebutkan namanya, Budi namanya. Aku
tak mau kalah dengan temanku, dan aku bertanya pada anak yang dipegangi oleh
Budi. Tak ku sangka dia malah takut kepadaku, lalu temanku mencoba bersalaman dengan
anak itu untuk mendapatkan respon dari anak tersebut. Budi kemudian mencoba mengulang
pertanyaanku yang kutunjukkan kepada anak yang memiliki tubuh sedikit gemuk. Baru
kemudian Ia menyebutkan namanya, Banu namanya. Temanku membantuku mengenali jenis
hambatan apa yang ada pada diri Banu. Kepala Sekolah mengatakan pada kami,
bahwa Banu memiliki hambatan penglihatan
serta hambatan intelektual. Sementara aku dan temanku bergantian bertanya kepada
Budi, aku menggeser-geser layar HP ku dan mengetik beberapa huruf, untukku kirimkan beberapa kata kepada temanku
yang bekerja di SLB ini, yang sedari tadi mencoba menghibur anak yang duduk diatas
tumpukan genting, dan berada tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku
mendapatkan pesan BBM darinya, Ia mengatakan padaku untuk bertanya kepada Budi.
Karena kulihat temanku itu sedang sibuk untuk mencoba menelepon seseorang. Sambil
kulihat-lihat sekeliling yang ternyata suasananya cukup sepi, aku mencoba menafsirkan
dan memutuskan bahwa Banu akan membantuku dalam menyelesaikan tugas lapangan ini.
Kenapa sekolah saat ini terlihat sangat sepi, pada hal jika dilihat ini bukan
jam pelajaran, namun jam istirahat, dan ternyata beberapa murid dan gurunya sedang
berkeliling di sekitar lingkungan sekolah. Sabtu ini, ada kegiatan Pramuka di
sekolah, dan kegiatannya diisi dengan mengenali lingkungan sekitar sekolah.
“Budi,
gurunya Banu namanya siapa ya?” tanyaku.
“Namanya
Pak Ari, Mbak.” jawab Budi.
Pak
Ari, yang mana ya orangnya. Aku memutar badanku manakala aku mendengar suara
anak-anak, oh mereka sudah pulang dari berkeliling. Beberapa anak melompati
pagar sekolah yang letaknya di belakangku, begitu juga dengan salah satu
gurunya, mereka memilih jalan pintas untuk masuk ke dalam sekolah, daripada
mereka harus berjalan memutar ke pagar depan sekolah. Lalu aku kembali
menggeser-geser layar HP ku, aku mengirimkan BBM kepada temanku yang menjadi
guru di SLB ini.
[Kak,
yang namanya Pak Ari yang mana?]
“Hissshh
lama sekali Tama membalas BBM ku!” aku menggerutu
“Ya
mungkin lagi sibuk, lihat saja beliau sekarang ada di ruang kepala sekolah.”
jawab temanku
Dari
posisiku berdiri aku bisa memberinya kode untuk membuka BBM ku. Aku
memanggilnya, ssstt…. Dan Tama langsung memberikan tanggapan. Percuma aku
menggerakkan bibirku untuk memberikan kode, karena Tama tak langsung mengerti.
Mau bagaimana lagi, semoga dia mengerti dengan kode bahasa isyarat B-B-M. Yes,
dia langsung membuka HP nya dan membalas.
[Tanya
Budi.]
“Budi,
Pak Ari yang mana sih?” tanyaku.
“Aduhhh…
bentar Mbak, yang mana ya, ga keliatan Mbak, kayaknya ada di balik mobil.”
Jawab Budi.
Budi
merupakan salah satu siswa tunanetra di sekolah ini, namun dia low vision, itu
artinya Ia masih bisa menggunakan sebagian kemampuannya untuk melihat sekitar,
sisa-sisa penglihatan itu dapat digunakan untuk melihat dalam radius beberapa
meter saja.
Aku
melihat beberapa guru sibuk mengawasi siswa, ada juga Ibu Guru yang meminta
tolong seorang Pak Guru untuk memetik buah papaya di kebun belakang sekolah.
Pak Ari adalah orang yang memetik papaya itukah? Atau Pak Guru yang sedang
duduk bersama siswa itu? Atau yang berada di dekat parkiran? Tama keluar dari
ruangan kepala sekolah sambil membawa kunci mobil. Aku sedikit mendengar
pembicaraannya dengan beberapa guru. Bahwa mereka hendak mengantarkan tiga
siswa tunanetra di sekolah ini untuk melakukan pemeriksaan. Seperti apa yang
diceritakan Budi tadi, Budi mengatakan padaku bahwa Ia dan Banu akan diperiksa.
Tak berapa lama Banu digandeng Budi untuk memasuki mobil, disusul seorang guru
laki-laki dan guru kelas Banu. Lalu, diantara dua lelaki selain Tama yang ada
di mobil, yang manakah Pak Ari? Ahh sungguh menyisakan sebuah dilema. Aku hanya
bisa menunggu dan duduk di pinggir lapangan, dan tiba-tiba ada anak yang
mendekatiku.
“Stop,
giliran aku yang mulai untuk berkenalan.” Kataku
“Fine,
lakukan saja.” Kata temanku
“Halo,
namanya siapa?” tanyaku kepada seorang bocah perempuan yang sedang asyik
menatap ke arahku, kemudian bergantian mengarahkan tatapannya kepada temanku.
“Aissh,,
kenapa diam saja.” aku menggerutu.
“Hahaha,
jadi kesimpulannya kamu gagal, kamu gabisa ambil hati anak.” ejek tamanku.
“Omo,
awas saja kamu ya.”
“Putri
!”
Aku
menoleh kebelakang, oh ada seorang Ibu Guru memanggil nama seorang murid. Dan
ternyata Putri adalah nama anak yang duduk diantara aku dan temanku. Tadi aku
sempat berhasil membuat Putri mau duduk diantara aku dan Iza, nama temanku Iza.
Terus saja Iza mengejekku, dan aku mencoba menghindarinya. Sambil aku menyimpan
sebuah nomor telefon yang kuminta dari Tama tadi, yang katanya itu adalah nomer
milik Pak Ari. Sebenarnya aku yang memintanya dari Tama sih, dan Tama langsung
memberikannya padaku. Kemudian tiba-tiba saja ada seorang guru mendekat keaarah
kami yang sedang duduk. Beliau menanyakan tujuan kami datang ke SLB, aku
mencoba menjelaskan sambil memperkenalkan diri. Ternyata namanya Pak Joko, dan
Pak Joko banyak memberikan aku dan Iza petuah, tentang kurang kritisnya kami
menanggapi pengertian anak dengan hambatan majemuk. Aku rasa ini benar-benar
yang dinamakan kuliah lapangan, kuliah dipinggir lapangan. Benar-benar di
pinggir lapangan.
Aku
dan Iza berniat menunggu sampai pemeriksaan itu selesai, lalu kami memutuskan
untuk menunggunya sambil berteduh di bawah pohon beringin. Di dekat pohon
beringin ada sebuah perosotan, aku tertarik untuk duduk di perosotan tersebut,
sementara Iza duduk di bangku, persis dibawah pohon beringin. Aku menyempatkan
diri untuk berselfie diatas perosotan. Iza hanya menggelengkan kepala saat
melihatku. Karena aku bosan duduk di atas perosotan, aku berdiri dan Iza
gantian duduk di atas perosotan. Suasana sekolah kembali sepi, karena saat kami
berpindah posisi untuk berteduh, jam masuk pelajaran telah berbunyi. Aku
meminta Iza untuk mencoba menunggu sampai jam 11.00, karena kata Tama sekolah
akan usai pukul 10.30 jika Hari Sabtu. Jam pada layar HP ku menunjukkan pukul
10.30 dan beberapa murid sudah keluar dari kelas mereka, ada juga yang sudah
mengambil sepeda mereka dari parkiran. Dan masih ingat tentang Putri, dia
sedang asyik makan belimbing wuluh, yang entah bagaimana Ia bisa memetiknya,
karena pohon buah belimbing wuluh yang ada di dekat ayunan di samping perosotan
ini, cukup tinggi untuk memetik buahnya.
Karena
mereka tak kunjung datang, aku memutuskan untuk pulang dulu saja, toh nanti aku
bisa bertanya lewat SMS kepada Guru Kelas Banu. Sebelum pulang aku kembali ke
ruang Kepala Sekolah untuk berpamitan sambil menyodorkan surat izin observasi.
Sungguh diluar dugaanku, di SLB ini sama sekali tak dimintai surat izin
observasi, dan juga tidak ada biaya administrasi sebagai syarat untuk melakukan
observasi di sekolah ini. Aku juga mengucapkan rasa terimakasihku karena sudah
disambut dengan hangat di sekolah ini, Iza juga menambahkan bahwa SLB ini,
dalam menyikapi mahasiswi yang hanya seperti kami ini, sangatlah ramah. Lalu
kami berpamitan dan membuat janji bahwa Hari Selasa aku akan kembali ke SLB ini
dan siap melakukan observasi.
Aku
merasa tak enak hati kepada Iza karena telah membuatnya menunggu, maka untuk
menebus kesalahanku, aku mengajaknya untuk makan Mie Ayam dan membiarkannya
untuk tidak membayar apa yang dia pesan. Selesai makan kami langsung berpisah
didepan warung mie ayam karena arah
jalan pulang kami berbeda.
Heran
rasanya, deadline tugas semakin dekat, namun kepalaku rasanya kosong, tak ada
ide yang muncul bahkan untuk menyusun kajian teori pendukung laporan kuliah
lapanganku. Aku baru sadar, bahwa SMS yang aku kirimkan kepada Guru Kelas Banu,
belum juga mendapatkan balasan. Daritadi aku chattingan dengan Tama di BBM, dan
kata Tama, pemeriksaan sudah selesai sejak 13.30. Padahal ini sudah sore, dan
jam di dinding telah menunjukkan pukul 15.34, tapi belum juga ada tanda-tanda
SMS yang masuk. Aku berfikir apa aku harus mengirimkan salinan SMS tadi di
Whatsapp, dan tak berapa lama ada pemberitahuan ada Whatsapp masuk, ahh dari
Pak Ari, akhirnya. Aku sedikit lama untuk mengetikkan kata-kata yang ada dalam
pikiranku, harus bertanya apa saja ini, dan akhirnya pertanyaan yang keluar
adalah jenis pertanyaan-pertanyaan konyol, yang terkesan seperti mencari
perhatian. Tak tau lah apa yang aku pikirkan, aku mulai panik dengan makalahku.
Yang jelas, Selasa aku akan ke Sekolah untuk melakukan observasi kepada Banu.
Minggu
berlalu dan akhirnya datanglah Senin, hari dimana banyak orang yang sangat
membenci hari yang bernama Senin ini. Aku memohon-mohon kepada Iza untuk
menemaniku melakukan observasi, namun Iza mungkin trauma jika harus menungguku
lagi, dia tetap bersikeras mengatakan bahwa aku bisa melakukan observasi
tersebut secara mandiri, tanpa harus ditemani oleh Iza.
*****
Selasa pagi ini, aku merasa aka nada
hal penting yang harus kulakukan, namun apa ya, seketika sepertinya sebagian
memoriku belum kembali setelah aku bangun dari tidurku. Aku mencoba
mengingat-ingat apa yang akan aku kerjakan hari ini. Pukul 7.00 aku baru ingat
bahwa hari ini aku harus melakukan observasi. Oh My God, kupikir ini sudah
sangat terlambat, aku harus mandi, sarapan, menyiapkan data, belum memasukkan
buku-buku untuk kuliah nanti, bekal makan siang, air minum. Ahh tidak,
bagaimana ini, aku pasti akan sangat terlambat tiba di SLB. Dan benar saja,
saat aku tiba di SLB, halaman depan sekolah sudah sangat sepi, itu berarti
semua siswa sudah masuk kelas masing-masing. Aku memarkir motorku dan langsung
membuka isi tasku mencari HP dan mengirimkan Whatsapp kepada Pak Ari,
menanyakan dimakah letak kelas beliau. Lama sekali tak dibalas, di kejauhan aku
melihat dua orang guru bersama satu murid, satu guru memegang handycam dan guru
satunya mengawasi polah murid tersebut. Aku mendekat kearah mereka, lalu aku
bertanya pada seseorang yang memegang handycam, lalu beliau menunjukkan untuk
langsung masuk saja di pintu gedung barat. Langkahku gontai, rasanya kaku
sekali untuk digerakkan, dan aku bingung harus meletakkan dimana mukaku nanti,
aku sangat malu, sudah sampai sekolah terlambat, tidak tau kelas, keringat
bercucuran karena grogi, ahh sudahlah, waktu semakin mengejarku jika aku tak
segera bergerak pikirku.
Itu, siapa pemilik mata itu, yang
menatapku dan membuatku membeku, dingin sekali rasanya tubuh ini, apakah aku
masih menapak, apakah langkahku benar. Aku yakin itu Pak Ari, karena di
depannya aku melihat Banu. Kucoba tersenyum simpul untuk mencairkan suasana.
Beliau langsung memberikan tempat duduknya kepadaku, dan kemudian beliau
mengambil kursi lagi di sebelahnya untuk beliau duduki. Aku menarik kursi itu
sedikit lebih mendekatiku, karena aku merasa tak sanggup lagi melangkahkan
kakiku untuk semakin mendekat dan duduk di tempat yang dipersilakan oleh Pak
Ari. Baru sebentar aku meletakkan tubuhku di kursi, satu-satunya teman sekelas
Banu sepertinya merasakan kehadiranku.
“Siapa ini?”
“Kenalan coba!” jawab Pak Ari
“Namanya Siapa?”
“Halo, ini siapa hayo?” tanyaku sambil
menggapai tangan gadis mungil di depanku
“Ayo dijawab, namanya siapa itu?”
sambung Pak Ari
“Aku Runi, Mbak namanya siapa?”
“Hai Runi, kenalin saya Ima” jawabku
“Pak, Pak Mbak Ima sekarang kelasnya
disini po?” tanya Runi
“Mbak Imam mau ikut belajar disini.”
Jawab Pak Ari, menjawab pertanyaan Runi
“Iya Runi, boleh nggak ikut belajar
disini?” tanyaku
“Boleh.”
Banu tidak menyapaku sedikitpun, entah
dia sedang berada dalam imajinasinya atau hanya menyimak dan tidak mau
menanggapi. Kuperhatikan tingkah Banu dan sebentar-sebentar aku mencatatnya
dalam kertas yang aku bawa. Tak luput juga dari mataku, tingkah manja Runi,
centil gayanya, sering sekali mencari cara agar perhatian Pak Ari selalu ada untuknya.
Terkadang Runi juga menggerak-gerakkan tangan kirinya di depanku, dengan cepat
aku meraihnya dan Runi tersenyum. Runi menyimak dengan baik pelajaran yang
diajarkan oleh Pak Ari, sedangkan Banu, perhatiannya sering terpecah, dia juga
kurang baik dalam menyimak pelajaran.
Observasi hari ini aku rasa cukup,
setelah tadi sempat kulontarkan beberapa pertanyaan kepada Pak Ari, dan
membuatku sedikit kehilangan akal untuk bertanya, sampai-sampai Pak Ari sedikit
mengingatkan tentang data siswa yang semalam sempat kuminta melalui Whatsapp.
Lalu Runi, dia punya kebiasaan sering meraba sepatu, sempat kulihat jug
abeberapa teguran dilontarkan untuk Runi, terkadang pula mungkin teguran itu
tidak Runi dengarkan. Aku juga melakukan pengamatan dalam proses mengajar guru
terhadap murid, kulihat disini begitu sabarnya Pak Ari dalam mengajar Banu dan
Runi. Selama aku terjun ke sekolah, baru pertama kali ini aku melihat guru
kelas yang seorang laki-laki dan sabarnya mungkin melebihi sabarku sebagai
perempuan. Hal ini pun saat aku bertemu dengan Ibu dirumah, kuceritakan
semuanya pada Ibuku. Ibuku berkali-kali mengungkapkan rasa kagumnya pada cerita
yang aku ceritakan.
*****
Untuk kedua kalinya aku kembali datang
di kelas Banu dan Runi, pikirku hendak mewawancarai tentang keseharian Banu di
Sekolah, sebenarnya ingin beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan ini, aku
tanyakan semalam di Whatsapp, namun apalah daya, Pak Ari sedang ada pekerjaan
yang memintanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sebelumnya, aku sudah
menyiapkan beberapa pertanyaan di otakku, tak sempat terpikirkan olehku untuk
mencatat pertanyaan-pertanyaan itu. Dan benar saja, sesampainya di sekolah aku
kehilangan pertanyaan-pertanyaan itu. Sebentar-sebentar aku mengirimkan pesan
BBM kepada Iza, memintanya untuk membuatkan pertanyaan kepadaku. Hal ini
membuatku merasa sangat tidak enak, kenapa aku tiba-tiba bisa ngeblank seperti
ini, apakah pikiranku terpecah antara apa yang coba kuingat untuk UTS nanti,
tentang observasi ini, ataukah rasa grogi yang masih menyelimutiku, dan apakah
rasa kagumku melihat seorang guru muda di depanku sekarang?
Beberapa hari yang lalu, Tama sempat
menceritakan tentang Pak Ari, dan ternyata Pak Ari merupakan kakak tingkat kami
di Jurusan Pendidikan Luar Biasa, dan beliau sepantaran dengan saudaraku.
Tiba-tiba murid-murid kelas sebelah datang ke kelas dimana aku melakukan
observasi di kelas tunanetra, dan itu menyadarkanku dari lamunanku. Terkadang
kedatangan orang asing ke sekolah, bisa menarik minat beberapa siswa untuk
mencari perhatian dari orang asing tersebut, dan benar saja, ada-ada saja
tingkah mereka untuk menarik perhatianku, dan aku menikmati itu.
Kemarin aku melihat kuku Banu yang
kurang terawat, tadi pagi aku sudah menyiapkan potongan kuku, dan semalam aku
juga sudah meminta izin Pak Ari untuk memotongkan kuku milik Banu, dan jawaban
yang mengejutkan terlontar dari balasan Pak Ari, “Boleh silakan,
ngomong-ngomong kuku saya juga sudah panjang ini, hehehe.” Saat aku mengingat
kalimat tersebut, bisa jadi saat orang lain melihatku, mengira aku kurang
waras, karena senyum ini tak dapat kutahan dan membentuk simpulnya. Banu
sedikit takut saat kukunya hendak ku potong, namun aku berhasil memberikan
sedikit pengertian kepadanya, dan akhinya Banu mau menurut padaku. Sementara
Runi, jangan tanya apa yang dia lakukan saat istirahat, ya, benar sekali Runi
akan menggunakan uang sakunya untuk jajan di kantin, dibantu oleh temannya,
Runi melangkah ke kantin, sempat kubujuk untuk makan jajan yang aku berikan
padanya tadi, namun Runi tetap mengotot untuk membeli jajan.
Setelah jam istirahat selesai, Runi
kembali ke kelas. Sementara Banu dari kemarin, kulihat, saat jam istirahat,
Banu tidak akan beranjak dari tempat duduknya. Saat temannya membujuknya untuk
diajak main, Banu akan menolak. Sepertinya kelas Pak Ari kali ini lebih santai,
apa karena ini hari terakhir aku ikut belajar di kelasnya? Pak Ari saat
kuperhatikan, Ia juga bertingkah jail kepada Runi, saat Runi meminta tolong
untuk menancapkan sedotan pada susu kotak, Pak Ari melakukannya, namun itu
tidak benar-benar masuk ke dalam kotak susunya, kemudian Pak Ari meminta Runi
untuk mulai meminumnya, dan ternyata bukan susu yang Runi dapat, melainkan anginnya
saja, Pak Ari tertawa, Runi merasa kesal, Banu tetap saja cuek, dan aku
bergabung dalam candaan ini. Berulang-ulang Pak Ari melakukan itu, dan beliau
berhasil membuatku tersenyum dan rasa malu yang aku miliki mulai pudar. Apalah
bisa dikata, ini hari terakhir aku melakukan kuliah lapangan disini, dan
saatnya aku harus kembali ke kampus lagi. Kujabat tangan Pak Ari sebelum aku
pulang, dan kemudian aku berpamitan, mengucapkan rasa terimakasihku dan
permintaan maafku. Andai saja kebersamaan ini bisa berlangsung selamanya,
terselip doaku saat kujabat tangan Pak Ari.
2
April 2016 – 6 April 2016
Komentar
Posting Komentar