Berlayar 1
Ada ungkapan, bunyinya gini “Kalau punya acara
yang udah direncanain itu kadang-kadang malah ga terlaksana, beda kalau
acaranya dadakan malah langsung jadi gitu.” Boleh percaya boleh ga sih, tapi
aku banyakan iya nya. Karena apa, biasanya emang gitu. Kayak di suatu Jumat,
biasalah cewek kalau panikan dan heboh sendiri. Cewek itu aku, waktu itu bakal
ada rencana pergi seharian di hari Minggunya. Aku dari Jumat ceritanya udah
minta izin sama Babe. Dari kalimat yang aku ungkapin, Babe sih yes. Kenapa
perlu ngomong sama Babe? Karena Babe itu lelaki paling pengertian dan paling
perhatian sedunia. Dilihat dari ekspresi Babe yang penasaran, kutinggalkan
bayangan Babe karena aku harus pergi mengerjakan tugas kelompok. Sambil berlalu
kucium punggung tangan Babeku yang terlihat sangat jelas, kuat otot dan
tulangnya yang selama ini menuruti kemauanku. “Assalamu alaikum… daaaahhh”.
Kudengar Babe menjawab salamku dengan masih digelayuti rasa penasarannya, siapa
yang akan ke rumah besok Minggu.
Sabtu, Ibuku bertanya, sembari menyebutkan sebuah
nama, Ibuku juga penasaran, padahal aku belum menceritakannya kepada Ibuku, dan
kutanya Ibuku juga belum diberitahu oleh Babe. Tak ku sangka, Ibuku justru
murka. Padahal Jumat lalu Babe menanggapinya dengan senyuman. Aku dimarahi oleh
Ibuku. “Mana ada di pasar, ngapain ke pasar, ga ada tempat lain?” ohh Mom, lalu
bolehkah aku ke Slili? Dan tak ku sangka, respon Ibuku, “Nah gitu, itu lebih
pas daripada pasar.” Sebelumnya memang aku berlaku curang disini, Ibuku tidak
tahu bahwa Slili itu adalah sebuah Pantai yang ada di Gunung Kidul. Kalau Ibuku
berbelit, akan kugunakan senjata, “Loh, tadi katanya terserah itu lebih bagus.”
Dan aku cepat pergi membeli bekal makanan dan minuman untuk besok, iya Minggu
besok itu, ke Slili.
Tak kulihat dari dekat
bagaimana ekspresi seseorang disana, dari pesan yang tertulis di BBM aku dapat
menyimpulkan bahwa dia begitu bahagia. Akupun juga, ternyata mudah sekali
mendapat izin dari Babe dan Ibu. Tak hanya di BBM, kami membahasnya juga di
whatsapp, entah apa yang akan terjadi besok. Malam ini harus tidur lebih awal.
Esok akan ada perjalanan jauh, perjalanan yang menyenangkan, hari yang semoga
cerah, dan hari yang membahagiakan.
Entah menit keberapa diriku semalam terlelap,
sejak kubaca ucapan selamat malam dari seseorang yang akan bertamu besok. Baru
saja kubuka mataku yang siap melihat indahnya Slili, pada waktu yang sama juga
aku mendapatkan bucket bunga dan boneka beruang, tertulis juga ucapan, “Selamat
pagi, siapkah untuk menjalani hari ini, cepetan bangun.” Mulai kubuka mataku
lebar-lebar, lalu kubuka gorden jendela kamarku, dan kuucapkan selamat pagi
untuk apa saja yang ada di depanku, burung, tanaman, bunga, rumput, “Aku ke
Slili hari ini.” Kuteriakkan kalimat itu, tak kusangkan Adikku ada di
belakangku, begitu pula Ibu. Ibu menyuruhku untuk segera bersiap, padahal aku
masih ingin menyapa burung-burung yang berkicau dari balik jendelaku.
30 menit lagi aku sampai, kamu harus sudah siap.
Aku terbelalak membaca kalimat itu, kupercepat persiapanku, kupilih-pilih baju,
tapi aku tak punya baju yang kuinginkan untuk kupakai hari ini. “Hello… satu
lemari penuh di depanmu itu baju apa bukan?” Ibuku mengoceh setiap kali aku
mengeluh soal baju. Saat aku pilih baju warna maroon, Adikku mengatakan itu
jelek, namun Ibuku mengatakan itu cocok. Oke aku menuruti perkataan Ibuku, dan
jilbab dongkerku dimana, ahh aku tidak menemukannya. Dan ternyata telah dipakai
oleh Adikku, bagaimana ini? Hanya warna itu yang ingin kupakai hari ini. Apalah
daya kupilah-pilah kembali, dan pada akhirnya warna abu-abu menarik perhatian
mataku.
30 menit berlalu dan itu isinya hanya berdebat
soal baju, itu berarti sudah ada seseorang di depan pintu, kupersilakan dia
terlebih dahulu untuk masuk dan duduk sembari menungguku memilih warna
lipstick. Belum selesai aku memilih warna lipstick, satu gelas teh hangat sudah
disiapkan oleh Ibuku. Ibu menyuruhku untuk menyajikannya kepada tamu di depan.
Sementara kutinggal masuk lagi, dan mengoleskan perpaduan gincu warna merah dan
pink di bibirku. Semprotan parfum, olesan hand body dan siap ku tenteng tas,
lalu aku keluar, menemui seseorang di depan.
“Siap mengembara sekarang Kapten? Yuk…!”
“Sebentar, teh nya belum habis.”
Lalu diteguknya teh hangat itu perlahan-lahan,
sembari ku keluarkan motor. Dan aku masuk ke teras lagi meminta kuci motor sang
Kapten, untuk ku masukkan motornya. Karena kali ini si Mio akan jalan-jalan ke
Gunung Kidul. Tadi sembari ku keluarkan motor aku mengatakan sebuah kalimat.
“Itu sebenernya bukan teh hangat, tapi teh panas,
kata Ibu sengaja biar lama disini.”
Kudengar gelak tawanya, suaranya tetap terdengar
walaupun ku dencitkan rem motorku. Selesai urusan motor aku kembali masuk ke
teras, duduk menemaninya menghabiskan teh. Lalu aku memanggil Ibu di dalam,
karena Sang Kapten akan meminta izin membawa kabur seharian anak gadisnya.
Karena aku percaya sedia payung sebelum hujan, aku mengingatkannya untuk
mengambil jas hujan dari balik jok motornya. Ibuku mulai menyeletuk saat aku
mengomel masalah jas hujan. Ibuku mengatakan bahwa hari ini tidak akan hujan,
aku mengeryitkan dahi dan bertanya, darimana Ibuku bisa tahu bahwa hari ini
tidak hujan.
“Karena pawang hujan ada disini.”
“Hahahaha…” kami semua tertawa, Ibu, Aku, Adikku
dan Sang Kapten.
Sambil memberikan petuah untuk hari-hati di jalan,
Ibu menyuruhku untuk mampir menemui Babe. Setelah bertemu Babe, aku dan Kapten
kembali bersama Mio dan kami siap naik ke Gunung Kidul. Yihaaaa.
Sepanjang perjalanan kami banyak mengobrol yang
meledakkan tawa. Saat jalan mulai naik. Aku melihat ke bawah, “Daebak… Elok
sekali melihat pemandangan dari sini.” Sebenarnya cukup panjang jarak yang kami
tempuh, namun kami tak merasakannya berjalannya waktu. Tiba-tiba kami tiba
begitu saja di TPR. Aku sudah menyiapkan uang untuk membayar retribusi,
kebetulan kami juga berbarengan dengan rombongan motor-motor yang mungkin juga
memiliki tujuan yang sama dengan kami. Weh, malah sang Kapten terus melaju,….
To be continued
Komentar
Posting Komentar