Ayah, Cinta Pertamaku


Ada hal yang tak bisa tergantikan, seperti Ibu misalnya, namun Ayah adalah lelaki pertama yang bisa menerimaku apa adanya. Lelaki yang mencintaiku sejak pandangan pertama. Lelaki yang mau menggendongku di pundaknya. Lelaki yang senantiasa memberikanku cinta yang tulus, serta memberikan kasih seluas samudera tanpa peduli banyak badai yang menghadang. Ayah adalah seorang yang rela jari-jemarinya linu daripada mendengar tangisan anaknya yang pilu hanya demi satu balon. Ayah juga seorang lelaki perkasa, yang tak peduli tulang-tulangnya patah demi menuruti kemauan anak manja sepertiku. Apapun rela, jika itu demi anaknya. Ayah, cinta pertamaku, cinta dari serorang lelaki yang sama sekali belum mengenaliku, tapi lelaki itu tak sungkan mencium keningku.
   Anak Ayah. Itulah sebutan untukku dari orang yang membangkitkan kenangan masa kecilku bersama Ayah. Setiap kali aku akan makan, Ayah yang menyuapiku. Setiap kali aku ingin baju baru, Ayah akan membelikan yang mahal untukku. Saat aku ingin minum susu, Ayah akan membelikanku susu mahal berprotein tinggi, berharap anak kecil ini pintar melebihi dirinya. Kata mereka, semenjak aku bisa makan nasi, ayah selalu memberikan lauk telur setengah matang untukku. Cintanya menyuapiku seutuhnya. Aku ingat saat aku meminta dibelikan buku mewarnai sepulang sekolah, waktu itu di perjalanan pulang ke rumah, kami melewati toko buku dan alat tulis dimana toko itu sering menjadi tempat ayah membelikan peralatan menulisku. Aku duduk di belakang memegang pinggang Ayah, aku menggeret-geret bajunya sambil merengek meminta dibelikan buku mewarnai, namun ayah tetap memacu motornya hingga toko itu terlewat. Aku menahan sembabku, sambil terus merengek minta dibelikan. Saat berhenti di lampu merah, inilah kesempatanku untuk mengeluarkan rengekanku. “Ayah………… aku mau buku mewarnai, Ayah…….. huaaaaa huuuaaa huuuaaaaaaa, Ayahhhhhhhhh……….!!!!!!!” Tangisku menjadi sekencang-kencangnya. Lalu seketika ayah memutar motornya, kembali kearah toko buku dan alat tulis itu dan aku mendapatkan buku mewarnaiku.
Saat aku mulai masuk SD, Ayah juga yang mencarikannya. Ayah memintaku untuk memilih salah satu sekolah yang dipilihkannya untukku. Sebuah SD yang memiliki Drumband yang hebat pada masa itu menjadi pilihanku. Waktu itu, malam hari, selepas Sholat Magrib, Ayah berpamitan. Ayah hendak pergi ke SD yang aku pilih, untuk mengambil nomor urut pendaftaran. Dulu, SD yang aku pilih ini, merupakan SD yang sangat favorit, harus melewati persaingan yang sangat ketat untuk bisa menduduki satu bangku belajarnya. Ayah saja rela mengantri dari Isya, dan menginap di SD tersebut supaya besok pagi saat pendaftaran dibuka, aku mendapatkan nomor untuk mendaftar. Benar saja, saat matahari sudah terbit setengah sempurna, Ayah pulang, dan memberikanku nomer pendaftaran. Ayah mengatakan padaku untuk jangan terlalu senang, karena aku harus mengikuti tes masuknya dulu supaya aku bisa menjadi barisan dalam Drumband yang hebat itu. Sungguh, perjuangan ayah untuk anak yang manja sepertiku tidak pernah sia-sia. Aku bisa mendaftar dengan nomor urut 2, namun saat tes berlangsung, namaku disebut pada urutan pertama, kata Ayah, yang mendapat nomor 1, semalam Ayahnya tidak menginap, maka dari itu, dia gugur, dan aku maju pertama. Dan, akhirnya, aku lolos dan diterima di SD tersebut.
Begitu pula saat aku akan memasuki SMP. Ayah lagi yang menemaniku mendaftar, Ayah juga selalu memotivasiku sebelum ujian kelulusan, supaya aku rajin belajar dan aku diterima di SMP favorit. Aku sangat senang sekali, aku bisa diterima di SMP yang bisa dibilang favorit ini. Awal-awal aku masuk SMP ini, yang ada hanya perasaan bahagia yang terselip di setiap harinya, namun perasaan khawatir itu akhirnya muncul. Aku merasa terancam putus sekolah karena biaya, SMP ini berbeda dengan SD ku dulu. Saat di SD seluruh uang sekolah ditanggung BOS, namun di SMP ini sungguh begitu besar biaya yang dibayarkan, mulai dari SPP Bulanan, Uang Gedung, uang seragam, uang daftar ulang, semuanya memakai uang. Terkadang saat di rumah, aku sering melihat dan mendengar pembicaraan Ayah dan Ibuku yang mengeluhkan soal biaya sekolah. Saat aku mengetahui bahwa Ayah merasa keberatan dengan uang yang harus dibayarkan di SMP ku, sementara Ayah juga harus menanggung biaya sekolah adikku yang masih SD, belum uang untuk makan sehari-harinya, sungguh rasanya seperti hari-hari bahagiaku diterima di SMP favorit sirna. Setiap kali aku dijemput dari sekolah, aku selalu memperhatikan punggung Ayah. Aku tahu punggung Ayah pasti lelah, saat Ibu yang menjemputku, aku sering ingin mengatakan aku berhenti sekolah saja, aku tidak ingin Ayah sakit dan kelelahan bekerja untuk membiayaiku. Aku berjanji pada Ayah, aku tidak akan menangis meminta buku mewarnai seperti dahulu lagi.
 Hal lain yang ayah tunjukkan padaku adalah saat aku hendak mendaftar SMK. Aku dan Ayah pagi sekali keluar dari rumah dengan membawa doa dari Ibu untuk mendaftar di SMK. Awal mulanya, Ayah kurang setuju aku masuk SMK, berulang kali Ayah menanyakan keputusanku. SMA atau SMK. Dan aku memilih SMK, dulu sewaktu kecil aku mengakui aku sangat manja dengan Ayahku, namun kini saat hendak menentukan pilihan jurusan di SMK, aku mulai menolak saran Ayahku. Ayahku memilihkanku jurusan busana atau menjahit, namun aku menolak, aku lebih memilih Akuntansi. Akhirnya, Ayah yang mengalah, Ayah membiarkanku memilih jurusan Akuntansi. Sesuatu yang aku takutkan, akhirnya muncul kembali. Biaya masuk di SMK ini sungguh lebih besar dari biaya masuk sewaktu aku SMP dulu. Waktu itu adalah hari dimana aku harus daftar ulang sebagai syarat aku masuk SMK ini. Aku datang bersama Ayah lagi, selesai dengan urusan berkas, kami harus melakukan sesi wawancara. Disitu aku dan Ayah masuk ke sebuah ruang kelas dan duduk berhadapan dengan dua orang Ibu Guru. Pertama aku diminta ayah untuk membacakan isi dari kertas yang diberikan oleh salah satu guru di depan kami, karena jika tanpa kacamata, Ayah kesulitan membaca tulisan dengan jarak dekat. Setelah kami selesai mengisi, kami kembalikan kertas tersebut kepada guru di depan kami. Ibu Guru depan kami hanya tersenyum, aku sangat takut padahal apa komentar yang akan muncul melihat nilai nominal yang aku tulis. Waktu itu, daftar ulang harus membayar sekitar 4jtan, namun waktu itu Ayah memintaku untuk menuliskan angka Rp50.000 dahulu, Ayah mengatakan pada Ibu Guru bahwa belum membawa uang, yang di saku celana hanya Rp50.000. Tak kusangka Ibu Guru di depan kami menyambut dengan baik, walaupun saat aku dan Ayah turun kebawah dan membayar, ada saja kalimat ejekan yang keluar dari panitia pendaftaran, aku yakin dia juga Ibu Guru, salah satu kalimatnya ”Apa, ini beneran Rp50.000? Paling nggak minimal Rp500.000, boleh po ini bayar Rp50.000?”
Aku tak mampu menjawab, bahkan aku tak ingin kalimat itu muncul dan membuat Ayahku sedih. Kutatap wajah Ayah, dan Ayah masih saja tersenyum. Sepulang dari daftar ulang, Ayah bercerita kepada Ibu dan aku masuk ke kamarku. Terdengar jelas dari balik kamar, bahwa Ayah dan Ibu akan berusaha meminjam sana-sini untuk melunasi kekurangan biaya daftar ulang yang hanya diberikan toleransi waktu 3 hari. Tidak mudah mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu 3 hari, jadi di hari terakhir daftar ulang harus menandatangani surat perjanjian pelunasan kekurangan biaya. Ayah menasehatiku untuk tidak terlalu memikirkan biaya sekolah seperti waktu aku SMP dulu, soal biaya itu sudah menjadi tanggung jawab Ayah, Ayah juga tetap akan membelikan sepatu sekolah mahal dan tas sekolah mahal untukku. Aku tak boleh mengecewakan Ayah, aku juga tidak boleh bermalas-malasan, selesai SMK aku akan langsung bekerja dan membantu Ayah memenuhi kebutuhan keluarga.
Ayah tak pernah mengeluh soal pekerjaannya, seberat apapun, sesulit apapun, dan sekecil apapun pendapatan yang didapat. Setiap pagi sampai tengah malam, Ayah berjaga-jaga di tambal ban kecil milik Ayah. Banyak sedikitnya yang meminta bantuan Ayah, Ayah tak pernah mengeluh. Bahkan pernah sehari Ayah tidak mendapat pemasukan apapun dari tambal ban. Waktu itu aku hanya dipamiti Ayah, bahwa Ayah akan pergi sebentar dengan temannya. Ayah berpesan padaku jika nanti ada yang mencari dan ingin menambal ban, katakan bahwa Ayah sedang pergi, jadi suruhlah orang itu ke tambal ban sebelah daripada menunggu lama. Sepulangnya ke rumah, Ayah mengajakku berbicara empat mata.
Ayah : Nak, sebenarnya Ayah tadi pergi melihat tempat kerja Ayah yang baru.
Aku : Dimana itu Yah?
Ayah : Di Pasar Giwangan, tetapi Ayah minta, kamu jangan bercerita kepada temanmu tentang pekerjaan Ayah yang satu ini. Ayah takut nanti kamu dijauhi teman-temanmu. Ayah ga mau kamu jadi tak punya teman.
Aku : Memangnya Ayah bekerja apa di Pasar Giwangan?
Ayah : Janji dulu pada Ayah, kamu tidak akan bercerita kepada siapapun, Ayah tak ingin kamu malu dengan apa yang Ayah kerjakan.
Aku : Iya Ayah.
Ayah : Ayah bekerja menjaga kamar mandi di Pasar Giwangan, kamar mandinya bersih kok, dekat dengan Mushola, ahhh nanti Ayah hanya perlu sesekali menguras kamar mandinya saja, tak berat pekerjaan Ayah.
Aku : Ayah, kenapa Ayah tidak menambal saja?
Ayah : Ayah tetap menambal, Ayah bekerja dari pukul 06.00-17.00 selepas itu Ayah pulang dan Ayah tetap membuka tambal ban kok.
Ayah, apa Ayah tau jarak rumah dengan Pasar Giwangan itu sangat jauh, tidak, sama sekali tidak jauh, dekat kok. Selalu kalimat itu yang muncul saat aku memprotes pekerjaan Ayah yang baru ini. Sebelumnya, selain Ayah membuka tambal ban, Ayah sempat bekerja di klinik sebelah rumah. Di awal-awal bekerja, pekerjaan yang Ayah terima sangat ringan, hanya menyapu dan mengepel. Akan tetapi setelah berjalannya waktu, apa yang dikerjakan oleh Ayah semakin berat. Ayah harus membersihkan dan membuang sampah medis, perban bekas, suntikan, infus, botol obat, darah, bahkan daging sisa operasi yang kena penyakit, jadi bisa dibayangkan bagaimana baunya dan pasti menemukan belatung pada setiap sampah medis. Untuk pekerjaan yang satu ini, Ayah pernah mengeluhkan, ahhh bukan mengeluh, namun Ayah mempertimbangkan kesehatannya. Ayah takut jika Ayah terus-terusan berurusan dengan sampah medis, akan berdampak dengan kesehatan Ayah. Apalagi Ayah tidak diberi masker dan sarung tangan untuk membersihkan sampah-sampah tersebut. Akhirnya Ayah resign dan hanya membuka tambal ban lagi.
Setelah resign dari pekerjaan di klinik, Ayah memintaku untuk lebih bersabar lagi, karena mungkin permintaanku tidak akan cepat dituruti seperti saat Ayah masih bekerja di klinik. Mungkin Ayah juga memikirkan semakin banyak tuntutan untuk biaya hidup, jadi Ayah menerima pekerjaan barunya menjaga dan membersihkan kamar mandi di Pasar Giwangan. Pekerjaan barunya ini, membuat Ayah harus berangkat bekerja lebih pagi lagi. Ayah selalu bangun pada saat adzan subuh, kemudian ayah mempersiapkan barang bawaannya, seperti baju ganti untuk sholat, bekal makan dan minum yang disiapkan Ibu, dan juga mengelap sepeda. Ya, sepeda, Ayah memilih memakai sepeda untuk pergi ke Pasar Giwangan. Aku memaksa Ayah untuk memakai motor saja, biar aku dan adikku yang naik sepeda ke sekolah, namun Ayah tetap bersikukuh untuk tetap bersepeda saat pergi bekerja, katanya sekalian olahraga. Pukul 5.00 tepat, Ayah berpamitan kepada Ibu, aku mencium tangan Ayah sembari mataku mengikuti gerakan Ayahku mengayuh sepeda meninggalkan rumah. Sedikit air mata ini menggenang. Oh Ayah, padahal aku mau jika aku harus mengantarkan Ayah bekerja terlebih dahulu sebelum aku berangkat ke sekolah, namun Ayah selalu menolaknya. Waktu itu, saat jam pulang kerja, hujan turun sangat lebat, aku, Ibu dan adikku menunggu kepulangan Ayah. Kenapa Ayah belum pulang-pulang juga, lalu tak berapa lama aku melihat sepeda Ayah. Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, Ayah hanya memakai mantel hujan plastik yang waktu itu hanya seharga Rp5.000, tanpa mengenakan jaket dan hanya memakai sandal jepit, aku merasakan betapa dinginnya itu, diguyur hujan di sepanjang perjalanan pulang, yang bisa ditaksir 15km jarak dari Pasar Giwangan ke Rumah. Dan sepeda yang digunakan Ayah, adalah sepeda lama yang sudah reyot dan sebenarnya hanya layak digunakan untuk jarak dekat.
Walaupun saat siang Ayah tidak ada di rumah, tapi Ayah tetap ingin bisa makan bersama sekeluarga. Karena saat malam Ayah sering tidur cepat saat merasa kelelahan. Jadi sore menjelang Ayah pulang, aku, Ibu dan Adikku menyusul Ayah bekerja. Paginya Ayah diantarkan Ibu, agar bisa dijemput dan sebelum pulang bisa makan bersama di luar. Walau hanya makan mie ayam dan bakso di dalam Pasar Giwangan, itu sudah sangat menyenangkan dan membahagiakan.
Kini, waktu cepat berlalu. Aku yang dulunya manja, semenjak lulus dari SMK aku mengusahakan untuk tidak pernah meminta uang Ayah lagi. Impianku yang dulunya ingin bekerja setelah lulus, terpaksa harus aku tempuh. Karena di tengah-tengah saat aku duduk di bangku SMK, aku tergiur akan kuliah. Aku berharap, dengan aku bisa kuliah, maka Ayah dan Ibuku akan bangga, namun setelah lulus SMK aku tidak bisa langsung masuk perguruan tinggi karena aku tidak lolos tes perguruan tinggi negeri. Dan akhirnya aku mencari kerja, dan kerja selama menunggu pendaftaran perguruan tinggi tahun depan. Selama aku bekerja, uang yang aku kumpulkan, aku gunakan untuk membeli buku-buku soal tes masuk perguruan tinggi, sebagian aku berikan kepada Ibu untuk membantu Ayahku. Saat kesempatan itu tiba, akhirnya aku bisa lolos dan diterima di perguruan tinggi. Sempat Ayah mengeluarkan kalimat, ”Buat Ayah bangga Nak, buat judul di koran ’Anak Tukang Tambal Ban Bisa Kuliah’, hahaha”
Ayah, walaupun kini pekerjaan Ayah yang masih Ayah tekuni adalah tambal ban, namun aku tidak malu. Ayah sudah sangat membuatku beruntung menjadi anak Ayah. Anak Ayah yang manja, anak Ayah yang cengeng, anak Ayah yang centil, terserah apapun sebutan yang tertuju padaku, yang terpenting aku bangga menjadi anak Ayah.
Ibu, dengan berjalannya waktu. Yang dulunya aku sangat dilarang oleh Ibu untuk terlalu dekat dengan lawan jenis. Kini Ibu menyadari sudah saatnya bahwa putri kecilnya telah tumbuh dewasa. Setiap kali aku bercerita tentang lawan jenis, Ibu selalu memberikan tanggapannya. Suatu saat, ada seorang anak laki-laki, usianya sekitar 3 tahun diatasku, tetapi menurut Ibu, dia sudah cukup dewasa. Dan setiap kalimat serius yang keluar darinya selalu membuat Ibu bangga bahwa putri kecilnya kini dekat dengan orang yang tepat. Tanpa aku bercerita dengan Ayah, Ibu selalu menceritakan ceritaku kepada Ayah. Terakhir kali aku menceritakan tentangnya, bahwa teman 3 tahun diatasku ini sudah menyiapkan apa yang akan dilakukannya setelah aku lulus kuliah.
”Ibu tidak bisa berkata-kata lagi Nak, temanmu berbicara seperti itu saja Ibu rasanya sudah tenang. Kamu jadi anak yang lebih baik lagi ya... tetapi... ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Ibu. Apa kamu sudah tahu bahwa Orang Tuanya setuju jika anak laki-lakinya memilihmu?”
”Ibu takut, Ibu selalu berfikir yang tidak-tidak Nak, bagaimana jika setelah Orang Tuanya tahu pekerjaan Ayahmu yang seorang tukang tambal ban, dan Ibumu hanya seorang Ibu rumah tangga seperti ini, pendapat Orang Tuanya berbeda terhadapmu. Ibu takut kamu tidak di izinkan bersama anaknya.”
Sontak, momen yang membuat Ibuku speechles berubah. Ah iya, aku mungkin terlalu berandai-andai. Aku juga mungkin terlalu berlari dengan khayalanku yang tinggi. Sungguh, ini juga hal yang aku takutkan. Aku juga takut jika orang lain tidak bisa menerima keadaanku. Untuk kamu, semoga dengan keadaanku dan keadaan keluargaku, kamu bisa menerima kami yang seperti ini.
’Ibu, In Syaa Allah, dia yang aku pilih adalah orang yang mau menerima kita apa adanya, menerimaku dan menerima keluarga kita. Aku percaya Qodarullah Ibu, semuanya sudah diatur oleh Allah. Seperti kita hanya perlu berusaha dan tak lupa berdoa ya Bu... Bagaimana nanti ke depannya, ya seperti ini keadaanku dan keadaan keluargaku, siapapun dia, laki-laki maupun perempuan, terutama laki-laki, jika dia menginginkan aku, hal pertama yang harus dia lakukan adalah menerima keluargaku terlebih dahulu. Jika mungkin saja ada hal yang menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan karena melihat kondisi keluarga kita, ya mau bagaimana lagi Bu, ini aku dan ini keluargaku.’

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Observasi Asik

Nature Republic Aloe Vera Asli VS Palsu, Original VS FAKE KW SUPER

Review Product : Masker Kefir