My Superman is Simple Man
Hero, Hero adalah sosok
pahlawan yang jadi idola para ciwi-ciwi kebanyakan dan biasanya Hero adalah
sosok yang sempurna. Ciwi-ciwi disini adalah sekumpulan cewek yang
menggebu-gebu berkumpul dalam satu lingkaran yang akan selalu mengagumi apapun
yang ada pada Hero. Sosok sempurna seperti Hero ini akan selalu membuat dirinya
terlihat perfeksionis di depan para ciwi-ciwi. Selain itu pula, dia tidak akan
tega melihat para ciwi-ciwi melihat dirinya yang biasa saja, jadi bisa jadi
terkadang Hero akan selalu menutupi yang buruk dan melekat pada dirinya. Mau
peduli tapi gimana gitu yah, dibuat-buat sih.
Terlepas dari Hero, aku punya
cerita lain, aku menamainya Superman. Entah karena pengalamanku yang kurang
dalam mengenali, atau aku hampir masuk ke dalam kubangan penggemar Hero. Aku
bukan membuat cerita lain tentang Superman, namun cerita ini mengalir begitu
saja. Waktu pertamaku saat mengenal Superman adalah saat dimana aku, hampir
frustasi dengan segala macam tuntutan kewajiban akan pendidikan yang sedang aku
tekuni. Terbatasi atas ikatan pembicaraan yang formal, dengan ada kursi, meja
dan beberapa subyek yang sedang aku amati, itulah kali pertama aku dan Superman
bercengkrama.
Kupikir hubunganku dengan
Superman hanya sebatas obrolan formal saja, namun ternyata ada hal unik yang
membuat aku dan Superman punya keterkaitan lain terlepas dari obrolan formal.
Obrolan kami belanjut pada obrolan kopi, aku lebih suka menyebutnya obrolan
kopi. Ini kali pertamaku aku bertemu dengan Superman di luar lingkungan formal,
aku sedikit memusingkan harus pakai baju apa aku kali ini. Namun kami tak
memusingkan tempat kami bertemu, kami memilih bertemu di sebuah warung kopi
yang sedang hits akhir-akhir ini karena mozaik kopinya yang unik. Tempat sudah,
kemudian hari dan waktunya juga sudah, aku bergegas segera menuju tempat yang
sudah dijanjikan, dan ternyata tempat yang kami pilih tutup. Padahal waktu itu
Hari Minggu. Karena kami menyayangkan jika kami harus pulang kerumah padahal
kami baru bertemu kembali, solusi yang dipilih adalah pindah tempat. Dan
yeaayy, aku mencoba menjawab “terserah” pada ajakannya setelah memilih tempat
lain. Aku melihat ada sedikit rasa jengkel sepertinya, namun aku suka melihat
ekspresinya yang seperti itu. Padahal aku tahu dia sedikit pusing memikirkan
apa mauku sebenarnya, tanpa dia tau sebenarnya aku memang ingin kesana karena
kau belum pernah mencicipi menu warung susu yang dia pilih.
Kikuk sekali rasanya bertemu
kembali seperti ini, aku yang menahan malu mencoba menyembunyikan rasa itu,
supaya terlihat aku tetap percaya diri, namun gerak gerikku tak dapat
disembunyikan. Aku memilih menu yang dia sodorkan, setelah itu kami memesannya.
Sungguh konyol, menu yang diantarkan di meja kami berbeda dari ekspetasi kami.
Gelas susu yang kami kira ukurannya tidak akan sebesar ini, namun ternyata
diluar dugaan, cukup bagi kami untuk menghabiskan waktu dan menjadi teman
mengoceh sampai gelas kami kosong.
Aku
menyebutnya Superman, karena dia menyelamatkan kekikukanku, mulai dari
menentukan tempat lain dan gelas susu yang super jumbo ini mencairkan suasana.
Aku memberanikan diri menyebutnya Simple Man, bagaimana tidak dia terlihat
sebagai orang yang sangat sederhana. Dengan gaya yang apa adanya namun bisa
membuat sesuatu tertawan karenanya. Obrolan kopi yang berubah menjadi obrolan
susu tak membuat jarak rasa yang berbeda antara kopi dan susu, justru kopi dan
susu adalah dua rasa yang sangat padu untuk dipadukan.
Kaos hitam,
tanpa tas, jaket hitam, dan sandal jepit. Mana ada seorang Hero yang kupaparkan
diatas akan membuat dirinya seperti Superman ini. Kesederhanaan yang membuat
tertawan.
Komentar
Posting Komentar